Jumat, 03 Maret 2017

bait puisi

Aku ingin sebait puisi yang sempurna, yang kautulis di bawah bayang-bayang lampu pijar yang meredup.
Kau lukiskan semua latar secara detail laksana setitik noktah yang berpendar di landasan putih.

Aku ingin sebait puisi yang sempurna, yang kautulis di bawah atap rumah-rumah yang melapuk papannya di telan musim, Puisi yang kau tulis seperti menenun sebentang kain dengan benang yang kautarik dari palung jiwamu.

Aku ingin sebait puisi yang tergerai di rambutmu, terkibar di terpa angin musim gugur. Agar jelas setiap inci citraan yang kaulukiskan.

Aku ingin sebait puisi yang kautulis hanya untukku, dengan tinta air mata, seiring patahan hujan yang merayapi ujung penamu.
Aku ingin sebait sempurna dari puisimu,
Namun kali ini cukuplah senyummu  melengkung di mata senja yang berpendar

kembali

aku ingin kembali ke tubuhmu
bebas dari kata dusta
atau sekumpulan mantra
paling purba
sebab kau tahu,
tubuhmu tempatku bermula
segala pintu ada di sana ,
setapak jalan menantiku kembali
sebagai anak hilang tak tentu arah

di tubuhmu pula
kubuat sajakku
sebagai rumah paling rindang,
sebagai kumpulan sebuah kenangan
diaman mereka akan berpulang

Sebuah pelukan

Sebuah pelukan
Seperti jembatan yang gemetar
Antara sejarah dan kenangan.
Antara getar api di dalam
Dan gaung kebisuan

Sebuah pelukan
Menulis segala yang tak dicatat matahari,
Adalah semburan dari kata-kata
Tersirat seluruh arah dan cinta manusia

Sebuah pelukan
Mengubah kata menjadi tubuh,
Tubuh menjadi alam
Dan alam menjadi bayang-bayang.

Sebuah pelukan
Menghimpun cakrawala dan laut
kemudian sang waktu lenyap menjadi buih-buihnya.

Sebuah pelukan
Seperti hujan di telapak tangan
Menghapus seluruh bentang jalan
juga akar Puisi dan api
seperti debu yang merindukan angin

Atau mungkin awan, awan yang lewat…
namun ternayata bukan,
Sebuah pelukan
Adalah inti air mata
yang merindukan kepastian